Pernahkah kita mendengar tentang orang-orang yang hidup di abad pertengahan (medieval) atau abad Renaissans, seperti Leonardo Da Vinci, Michaelangelo Buonarroti, René Descartes, dan masih banyak lagi? Berapa banyak kisah hidup mereka yang hingga kini menjadi referensi bagi kita yang hidup di abad ke-21?. Bukankah kebudayaan telah dimulai dari abad-abad yang telah lalu, dan bukankah kita telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sebelumnya? Ya, semua yang telah dicapai hari ini adalah hasil dari proses panjang di dalam sejarah. Tokoh-tokoh penting di dalam sejarah seperti yang sudah disebutkan, memiliki pengaruh luar biasa dalam perkembangan zaman, pemikiran mereka masih tetap eksis hingga saat ini, walaupun mereka sudah tidak ada lagi. Pengaruh yang sangat besar terhadap zaman tidak lepas dari pendidikan yang mereka geluti semasa hidup. Proses belajar yang berbeda dengan apa yang ada di zaman kita saat ini adalah kunci dalam membentuk seseorang menjadi manusia yang paling berpengaruh di dunia. Da Vinci sesungguhnya tidak mempelajari satu mata kuliah saja, melainkan lebih dari apa yang kita bayangkan. Seorang Da Vinci mampu mempelajari banyak hal seperti anatomi tubuh, teori militer, arsitektur, seni memahat, seni melukis, ilmu kartografi (membuat peta/globe) dan aerodinamis. Beliau juga seorang ilmuan, pengusaha dan seorang filsuf. Bukankah terlalu rumit jika metode atau gaya belajar Da Vinci diterapkan di zaman kita? Bukankah menghadapi satu mata kuliah saja sudah membuat kita pusing, seperti Matematika atau Fisika? Lantas mengapa seorang Da Vinci mampu melakukannya? 

Liberal Arts Education. Dalam pengertian harafiah diterjemahkan sebagai “pendidikan seni liberal” akan tetapi maksudnya bukan seperti itu. Liberal yang dimaksudkan disini adalah kebebasan dalam pendidikan, dimana semua terhubung tanpa ada sekat-sekat di antara semua ilmu pengetahuan, secara sederhana disebut pendidikan umum. Liberal Arts telah di kembangkan oleh filsuf-filsuf Greeka kira-kira 2400 atau 2500 tahun yang lalu, kemudian diteruskan dalam tradisi Roman society hingga saat ini. Dalam Liberal Arts kita dituntut untuk mempelajari berbagai hal seperti Matematika, Fisika, Kimia, Ekonomi, Musik, Teater, Seni Menulis, Seni Melukis, Retorika, Sastra, Sejarah, Bahasa Asing dan sebagainya. Semua pelajaran itu bukan bagian yang terpisah-pisah, melainkan sebuah kesatuan yang terhubung satu sama lain. Artinya kita bisa melihat hubungan antara Matematika dengan Seni Musik atau Kimia dengan Sastra. Secara sederhana Liberal Arts hadir untuk melihat keterkaitan-keterkaitan antara semua ilmu yang ada. Dengan mempelajari banyak hal sekaligus mungkin akan menjadikan kita sulit untuk fokus dengan apa yang harus kita tuju, kita akan menjadi manusia yang tidak konsisten atas apa yang kita kerjakan. Namun bukan seperti itu yang diharapkan saat kita mempelajari banyak hal. Justru dengan memahami banyak hal dan mengetahui esensinya kita dapat menjadi pribadi yang mampu melihat segala fenomena kehidupan lebih luas dan lebih terbuka dibandingkan dengan mereka yang hanya fokus pada satu bidang saja. Misalnya seorang ekonom diajarkan semua ilmu tentang ekonomi, tetapi mereka tidak diajarkan bagaimana cara berbicara yang baik dan terstruktur saat berhadapan dengan orang lain atau saat berdebat, bukankah seni berbicara sangat penting untuk meyakinkan orang lain agar tertarik dengan apa yang kita tawarkan? Oleh sebab itu penting bagi kita untuk mengetahui keterkaitan antara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Retorika, disanalah Liberal Arts.

Pendidikan liberal didefinisikan oleh Association of American Colleges and Universities sebagai pendidikan yang mengembangkan siswa sebagai pribadi individu, dibekali dengan pengetahuan yang luas maupun pengetahuan yang mendalam, serta kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut di dunia nyata yang kompleks, beragam, dan penuh perubahan. Pendek kata,  pendidikan liberal arts tersebut adalah pendidikan sebagai pengembangan individu, melalui pengetahuan mendasar namun komprehensif alias antar bidang dan pengetahuan mendalam di suatu bidang. Dalam kehidupan yang dinamis, kita tidak bisa melihat suatu persoalan hanya melalui satu sudut pandang saja. Orang-orang kreatif memiliki banyak ide dan inovasi, karena mereka mampu melihat keterkaitan antara persoalan dan solusi. Mereka mampu menemukan hubungan antara hal-hal yang mungkin tidak saling terhubung sama sekali. Lantas apakah kita akan terus memonopoli kemampuan kita sebagai manusia hanya untuk sebuah tujuan yang kecil dan malah meninggalkan hal-hal besar dibalik keterbukaan kita akan semua hal? Disisi lain ada kecemasan yang dibuat-buat untuk menakut-nakuti atau sekedar menolak kehadiran orang-orang yang memiliki kecerdasan yang umum seperti Da Vinci, yaitu mereka tidak bisa bersaing dalam dunia perindustrian, karena disana membutuhkan orang-orang yang spesialis dan bukannya generalis, akan tetapi jangan dulu terburu-buru pesimis karena orang-orang generalis adalah manusia-manusia yang melahirkan suatu gerakan baru serta pemikiran-pemikiran yang progresif dimasa depan. Contoh terbarunya adalah menteri yang tergabung dalam Kabinet jilid dua milik Jokowi-Maruf, ada beberapa menteri yang tidak memiliki latar belakang yang sesuai dengan bidangnya, namun dipercayakan untuk menjabat. Itu membuktikan bahwa Jokowi ingin agar menteri-menterinya bukan saja dari orang-orang yang alih di bidangnya melainkan orang-orang yang juga mengerti dan memahami aspek-aspek paling fundamental dari suatu proses untuk melangkah maju ke masa depan.

Tujuan penulisan ini adalah untuk  memberi gambaran kepada kita bahwa dunia dimana kita tinggali saat ini adalah dunia yang terus saja mengalami perubahan, dan apabila kita tidak menyesuaikan dengan perubahan itu maka cepat atau lambat kita akan tergeser dari zaman yang terus saja berubah. Mempelajari banyak hal tidak akan merugikan kita, justru semakin banyak hal yang dipelajari kita semakin tahu dan mengerti pokok permasalahannya dimana, kita punya dasar yang kuat untuk berpijak, tidak lagi meraba-raba masalah yang terjadi, karena kita telah terbiasa dengan pandangan yang heterogen atas setiap masalah yang ada. Analisis kita tidak lagi menjadi sesuatu yang khusus tetapi sesuatu yang umum namun mendalam dan mampu diterima oleh banyak orang. Tidak sedikit orang-orang hebat yang memiliki latar belakang pendidikan Liberal Arts, tetapi mereka mampu menjadi pemimpin-pemimpin yang kompeten dan handal walaupun bukan dibidangnya, seperti Carly Fiorina yang merupakan CEO dari  Hewlett-Packard (HP) sebuah perusahaan teknologi terkenal, CEO Youtube, HBO, Whole Food semua merupakan lulusan dari pada Liberal Arts.

Di zaman ini bahkan sebelum ini, kita telah belajar bahwa mempelajari banyak hal tidak mungkin merugikan kita secara meteril bahkan moril, justru itu telah memperkaya kita sebagai seorang manusia. Saya ingin mengatakan bahwa, pendidikan kita tidak mungkin berkembang secara sehat apabila proses didalamnya tidak membebaskan murid untuk mengembangkan segala kemampuan yang ia miliki. Jangan membatasi diri kita atau orang lain untuk belajar apa saja, biarkan mereka bertumbuh dengan ilmu yang ingin mereka pelajari, itulah yang disebut Liberal dalam pendidikan. Bebaskanlah imajinasi dan, kreatifitas akan selalu lestari. Liberal Arts akan membukakan jalan yang lebih cerah bagi masa depan umat manusia. Orang-orang jenius Universal adalah mereka yang belajar banyak hal dan mengetahui keterkaitan antara semua ilmu yang mereka pelajari. Kita semua berharap agar tidak ada lagi guru matematika yang mengajar dengan cara yang monoton dan kaku sehingga murid-murid menjadi bosan dan tetap saja bodoh, harapan untuk melihat guru matematika mengajar ilmu bilangan dengan memanfaatkan alam  adalah harapan yang terlalu aneh tetapi selama ini matematika tidak pernah lepas dari proses alam semesta, justru matematika adalah bahasa alam semesta. Oleh sebab itu, mestinya ada penjelasan yang berkorelasi dengan alam disekitar kita. Contohnya, kita bisa menemukan bilangan Fibonacci pada kelopak bunga atau buah pinus yang mekar. Atau mengukur panjang benda melalui bayangannya saja. Bukankah itu adalah hal-hal praktis yang dapat menajamkan rasa ingin tahu murid, dibandingkan dengan memaksanya untuk menghafal semua rumus yang ada di buku? Pada akhirnya kejeniusan bukanlah sebuah pemberian yang gratis, melainkan adalah anugerah yang mesti diasah terus menerus hingga tajam. Membeli kejeniusan harus menggunakan mata uang kerja keras dan rasa ingin tahu yang kuat. Disanalah orang-orang hebat mendapatkannya. Dan disanalah mereka abadi  walaupun sudah mati.

 

Penulis,

Jeremy Tingginehe
(Mahasiswa Teknik Elektro)